UIN Jakarta Press berkolaborasi dengan IPB Press menggelar acara bedah buku yang ditulis oleh Mim Yudiarto berjudul ‘Tak Kenal Maka Taaruf’ pada Kamis (14/3/2024) di Aula Student Center UIN Jakarta. Acara ini dihadiri oleh Direktur Utama IPB Press, Erick Wahyudyono, Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN Jakarta, Siti Ummi Masruroh, serta beberapa dosen UIN Jakarta yang turut membahas isi dan pesan-pesan dalam buku.
Dalam sambutannya, Erick memberikan tanggapan terkait isi buku tersebut. Menurutnya, novel yang berjudul Tak Kenal Maka Taaruf ini merupakan sebuah novel inspiratif dan edukatif yang dikemas secara jenaka sehingga mudah dibaca oleh kalangan muda atau gen z. Ummi dalam sambutannya juga menambahkan pentingnya novel sebagai jendela dunia, novel ini menurutnya relate dengan keadaan gen z saat ini karena isi novel tersebut menunjukkan bahwa ta’aruf tidak hanya condong ke agama Islam, tapi bisa dilihat dari sisi universal.
Acara yang dimoderatori oleh Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Biaunik Niski Kumila, M.S., mengundang dua dosen FST sebagai pembahas bedah buku ini, yaitu Prof. Dr. Ambran Hartono, M.Si., dan Dr. Iwan Aminudin, S. Hut, M.Si. Iwan mengatakan bahwa taaruf tak sama dengan pacaran sehingga dengan adanya buku ini dapat menambah pandangan dan pengetahuan generasi muda terkait makna taaruf yang sebenarnya.
“Novel ini alurnya renyah, mudah dipahami, dan addict. Tipe novel yang sangat layak dibaca karena di dalamnya tidak sepenuhnya novel religi, ada bahasa candaan juga yang sangat cocok untuk generasi muda,” ucapnya.
Sebelumnya, Mim, sapaannya, telah menulis 50 buku yang di antaranya termasuk novel, puisi, dan cerpen. Novel Tak Kenal Maka Taaruf merupakan karyanya yang ke-51, ia mengaku hanya membutuhkan waktu delapan hari untuk menyelesaikan satu buku tersebut.
“Saya menghabiskan waktu delapan hari buat menyelesaikan buku ini, kalau sudah mulai menulis saya rasanya kayak ‘kesurupan’ jadi langsung mengalir saja alurnya karena saya bukan tipe penulis yang menggunakan outline seperti mayoritas penulis lainnya, kalau pakai outline itu seperti memenjarakan pikiran saya jadi tidak bebas. Jadi riset dan sumber tulisan saya cari sembari proses menulis. Saya juga meminta pendapat anak-anak saya terkait bahasa dan bagaimana pergaulan generasi muda karena anak-anak saya tergolong gen z,” ungkap Mim.
Menulis novel bergenre romansa jenaka disertai penggunaan bahasa yang ringan merupakan tantangan besar bagi Mim karena biasanya genre buku yang ia tulis tergolong berat, seperti horror, sedih, hingga thriller. Tantangan juga diberikan kepada Mim karena tak hanya gaya kepenulisan, Mim juga harus memasukkan makna edukasi dan religi ke dalamnya.
Pada kesempatan yang sama, Mim juga memberikan tips dan pesan kepada para mahasiswa yang tertarik mencoba dunia kepenulisan. Ia menyampaikan bahwa kritikan dan tanggapan dari pembaca adalah hal yang sangat penting, jadi jangan merasa down dengan kritikan pedas justru kritikan tersebut harus bisa menjadi batu loncatan penulis agar bisa menghasilkan karya yang jauh lebih baik.
“Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai, jadi apa pun yang kalian tulis yang penting selesai. Sama kayak kalian tulis karya ilmiah, skripsi, cerpen, yang penting tulisan itu selesai. Bagus tidaknya itu nanti penilaian subjektif dari pembaca,” pesannya.
Novel ini rencananya akan diangkat ke film layar lebar yang disutradarai oleh Fajar Bustomi, proses penyusunan skenario telah dilakukan dan saat ini sedang memasuki proses casting. Diperkirakan filmnya akan tayang di bioskop pada akhir tahun 2024 atau awal tahun 2025. (Nadia Nur Fadilah/Noeni Indah/Fauziah)